Maraknya ekspansi budaya asing di Indonesia tak selalu berdampak buruk.
Di era globalisasi, setiap negara bebas melakukan ekspansi budaya ke
negara lain. Dulu, budaya Barat dengan leluasa melakukan penetrasi
budaya ke berbagai negara lain.
Kini, Barat tak sendiri. Korea
dan Jepang ikut pula mendominasi ekspansi budaya. Tak hanya berhenti di
Asia, budaya Korea dan Jepang hadir pula di Eropa dan Amerika.
Saat ini, budaya Korea dan Jepang masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Mulai dari fashion, musik, film, hingga menu makanan.
Dengan
fenomena yang ada Dirjen Pariwisata Dalam Negeri Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Muhammad Faried melihat tren yang
ada bukan sebagai ancaman. Menurut dia, maraknya ekspansi budaya asing
ke Tanah Air, tak selamanya buruk.
Ekspansi budaya justru bisa
menjadi kesempatan membuat negeri ini lebih dikenal masyarakat dunia
luar. “Sekitar 7,2 milyar penduduk dunia belum tentu kenal Indonesia,”
ujarnya.
Selain itu, masuknya budaya negara lain dapat menjadi
warna baru bagi industri kreatif Tanah Air. Sehingga, ekspansi budaya
yang ada sebenarnya memiliki nilai positif untuk perkembangan Indonesia.
Apalagi,
kata dia, kehadiran budaya asing tak langsung berarti mengancam budaya
Indonesia asli. Kecintaan masyarakat pada budaya tradisional khas
Indonesia pun tak seketika luntur oleh budaya negara lain.
Menurutnya,
setiap negara pasti memiliki kelebihan masing-masing sebagai senjata
untuk membuat negara lain kenal dengan negara mereka. Indonesia,
misalnya.
Selama ini, menurut Faried, Indonesia menjadikan
bidang pariwisata sebagai unggulan utama milik bangsa. Banyaknya budaya,
alam, pulau, dan bahasa yang unik, membuat Indonesia memiliki daya
tariknya sendiri. “Basis kita memang di bidang pariwisata. Jadi, kita
saat ini masih mempromosikan tempat-tempat wisata,” kata dia.
Meski
masuknya budaya asing tak pernah dilihat sebagai ancaman, pemerintah
tetap menyaring setiap budaya asing yang masuk ke Tanah Air. Selama ini
Kemenparekraf memiliki kriteria dan persyaratan tersendiri dalam
menghadapi gempuran budaya asing.
Pemerintah Indonesia, kata dia,
juga tak pernah berhenti melakukan langkah promosi memperkenalkan
budaya Indonesia ke luar negeri. Salah satunya, dengan rajin
berpartisipasi dalam berbagai event dunia.
Serangan balik
Sudah
puluhan tahun masyarakat Indonesia akrab dengan kehadiran Doraemon
sebagai pengisi hari libur. Begitu pula dengan film Jepang dan musik
asal Negeri Sakura yang dikenal juga dengan J-pop.
Kerap dibuat
terpukau oleh beragam budaya negara lain, tak membuat Indonesia berdiam
diri. Lewat film, Indonesia melakukan serangan balik dan ikut tampil
dalam gelaran festival film terbesar di Jepang, Tokyo Internasional Film
Festival (TIFF).
TIFF tak hanya bergelar pentas akbar insan film di
Jepang, tapi juga seluruh Asia. Bahkan, TIFF merupakan satu-satunya
Festival Film Jepang yang mendapatkan akreditasi dari International
Federation of Film Producers Associations (FIAPF).
Festival ini
juga termasuk salah satu dari empat festival film utama di dunia, selain
festival Cannes (Prancis), Venesia (Italia), dan Berlin (Jerman).
Tahun
lalu, tepatnya Oktober 2012, TIFF memberikan kesempatan besar bagi film
Indonesia untuk ikut unjuk gigi di gelaran ini. Satu katagori khusus,
yaitu “ndonesia Express”, disiapkan bagi film-film Indonesia yang
tampil.
Di mata insan perfilman Jepang, film Indonesia dianggap
memiliki masa depan cemerlang dan memiliki tema bervariatif. “Film
Indonesia banyak mengangkat tema sosial dan itu bagus,” ujar Direktur
program seksi Winds of Asia-Middle East TIFF Ishizaka Kenzi di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Pada gelaran ke-25 TIFF Oktober lalu,
terdapat tujuh film Indonesia yang unjuk gigi. Ketujuh film tersebut,
yakni Atambua 39 Derajat Celcius, Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi
garapan Riri Riza, Babi Buta yang Ingin Terbang dan Kebun Binatang
garapan Edwin, serta Mata Tertutup dan Seogija garapan Garin Nugroho.
Ketujuh
film ini ditayangkan mulai 20-28 Oktober 2012 di Roppongi Hills, Kota
Minato, Metropolitan Tokyo. Untuk menyaksikan film-film besutan sineas
Indonesia, pengunjung harus membeli tiket.
Tiket Atambua 39
Derajat Celcius dijual seharga 1.000 yen atau sekitar Rp 115 ribu.
Sedangkan, untuk keenam film lainnya, tiket dijual seharga 1.300 yen
atau Rp 150 ribu.
Ternyata, film Indonesia bukan pertama kali
berpartisipasi dalam TIFF. Sebelumnya, film the Mirror Never Lies
besutan sutradara muda Kamila Andini juga ditayangkan dalam TIFF 2011.
Film yang bercerita tentang kehidupan suku Bajo ini bahkan berhasil
meraih penghargaan Toyota Earth Grand Prix.
Tak heran, para
sineas Jepang tertarik dengan para pembuat film Indonesia. Mereka bahkan
meyakini sineas film lokal sangat berbakat dan tak kalah dengan sineas
negara lain.
Direktur Japan Foundation Tagashi Ogawa mengakui,
Indonesia memiliki banyak sineas berbakat. “Saya ingin memperkenalkan
film Indonesia lebih luas lagi,” katanya.
Tahun lalu, tiga
sutradara Indonesia pun hadir menghadiri gelaran TIFF sekaligus
mempromosikan filmnya. Mereka adalah Garin Nugroho, Riri Riza, dan
Edwin.
Menurut Riri Riza, kesempatan tampil di festival film
internasional, seperti TIFF, mampu meningkatkan semangat sineas
Indonesia berkarya. “Kita juga tergerak untuk bekerja lebih keras lagi
karena ada banyak film lain yang menarik di dunia,” ujarnya.
Kurang Dukungan
Perkembangan
budaya hiburan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dari negara
Asia lainnya. Mulai dari film, musik, dan karya lainnya. Meski kualitas
budaya lokal tak kalah dengan budaya asing, tak sedikit masyarakat lebih
memilih menikmati budaya asing.
Drummer wanita sekaligus aktris
Titi Rajo Bintang mengungkapkan, selama ini para pelaku industri film di
Indonesia masih kurang merasakan adanya dukungan pemerintah. Masalah
perizinan dan promosi, menjadi dua bentuk dukungan yang masih sulit
didapatkan.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia saat ini belum
mendukung sepenuhnya perkembangan industri hiburan Indonesia.
Ujung-ujungnya, banyak budaya lain yang masuk dan berkembang di Tanah
Air. “Selama ini pemerintah kurang gencar mempromosikan beragam budaya
Indonesia,” ujarnya.
Kreativitas para sineas Indonesia juga
kerap terkendala permasalahan. Cerita film terbaru Titi, Mursala, sempat
mendapat keberatan dari Majelis Budaya Pesisir dan Pariwisata Sibolga
(MBPPS) Tapanuli Tengah. Alhasil, Mursala yang awalnya direncanakan
rilis pada 2012 baru bisa rilis pada 18 April 2013. n aghia khumaesi ed:
setyanavidita livikacansera
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/13/ml5k5n-budaya-indonesia-tetap-istimewa
Selasa, 18 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar