Labels

Selasa, 18 Juni 2013

Budaya Amerika Vs Budaya Indonesia - Politik di Kantor

Ulasan Budaya Amerika versus budaya Indonesia memang tidak akan pernah habis. Bagaimanapun juga, senang atau tidak senang, budaya Indonesia pada masa kini banyak menerima limbahan budaya dari Negara Negara barat. Sayangnya, 90% budaya barat yang masuk ke Indonesia tidak selalu “positive”.
Senang atau tidak senang kita sendirilah yang harus berani menerima atau menolak datangnya unsur unsur budaya baru tersebut. Kalau menolak, maka kecaman yang biasa didapat adalah, “ketinggalan jaman” atau “tidak open minded”, kalau pun menerima maka bisa mendapat kecaman bisa juga mendapat pujian, tergantung dimana dan kapan kita menempatkannya.
Permainan politik tidak hanya dikenal dalam pemerintahan, permainan ini juga dikenal dalam kancah business atau pekerjaan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jumlah tenaga kerja di Indonesia maupun di Amerika melampaui batas pekerjaan yang tesedia. Ditambah dengan hancurnya kondisi perekonomian, yang menyebabkan banyak perusahaan perusahaan di Amerika dan di Indonesia mengalami collapse.
Persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin meruncing, berbagai usaha dilakukan untuk mengganjal, mengenyahkan, bahkan menyingkirkan teman sekerja atau kandidat baru yang baru saja diterima bekerja.



Artikel ini hendak membandingkan dan membahas politik di dunia kerja baik di Amerika maupun di Indonesia berdasarkan pengalaman pribadi.
Sebagai contoh lamaran kerja yang dicantumkan oleh suatu perusahaan di surat kabar, apabila dulu lamaran hanya dikirim melalui layanan pos atau email. Sekarang sudah banyak yang nekat mendatangi langsung kantor yang memasang lowongan itu., akibatnya banyak perusahaan perusahaan yang menyerah dan menugaskan kantro kantor head hunter dan kantor agen tenaga kerja untuk menyaring pelamar pelamar itu.
Ratusan bankan ribuan lamaran pun dilayangkan oleh agen tenaga kerja, bukan rahasia umum kalau lamaran lamaran itu hanya akan dimasukkan ke keranjang sampah, mengapa demikian ?. Karena agen tenaga kerja sendiri sebenarnya kewalahan dengan masuknya lamaran yang luar biasa banyaknya.
Lalu bagaimana nasib dengan perusahaan yang mencari tenaga kerja itu, apa yang agen agen tenaga kerja lakukan untuk mensuplai tenaga baru. Di Indonesia, sistim nepotisme dan referensi berperan penting dalam proses ini. Beberapa agen tenaga kerja yang berlokasi di salah satu sudut Jakarta (untuk etika, saya tidak akan mencantumkannya).
Agen ini masih menerima pegawai berdasarkan referensi dan nepotisme dari karyawan/karyawati agen tersebut. Misalnya: headhunter N, akan menghubungi kakak/adik/keponakan/sepupu yang berkerja di kantornya. 
Bisa juga dia menghubungi almamaternya, dan menanyakan alumni alumni yang pernah bersekolah di sekolah tersebut. Kalau di Amerika lain caranya, nepotisme tidak berlaku, tapi referensi dan network sangat berlaku. Agen agen tenaga kerja itu akan mengirimkan email secara periodic kepada orang orang yang berada dalam daftar databasenya.
Dari email itu kemudian ditawarkan apabila kita mempunyai kenalan yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman sesuai dengan bidang pekerjaan yang dicari, maka apabila kita mengirimkan resume mereka, dan mereka dihire oleh agen tersebut, kita akan mendapatkan bonus uang cash dalam jumlah yang lumayan.
Agen tenaga kerja ini juga menggunakan menu search engine masuk ke website website careerbuilder atau monster, dan mencari calon calon tenaga kerja yang memasukkan resumenya kesana. Banyak dari pengalaman saya di masa lalu, saya mendapatkan telefon atau email dari agen tenaga kerja yang berlokasi di California, Texas, atau Chicago.
Agen agen ini bertugas mencari calon tenaga kerja secara outsourcing, mereka tidak hanya mencari calon tenaga kerja yang berdomisili di state tempat mereka berasal, namun mereka mencarinya di luar state maupun di luar Amerika. Saya sempat menanyakan mengapa mereka tidak mencari secara local saja, alasan yang digunakan adalah untuk menekan biaya.
Bagaimana bisa” menekan biaya”, nalar saya bekerja, jadi begini: Kelly Service sebagai contoh, ditugaskan oleh Microsoft di Seattle mencari calon tenaga kerja untuk dipekerjakan di bagian IT. Standard gaji IT local adalah $ 90,000/year. Mereka kemudian outsourcing tenaga kerja di Michigan.
Michigan adalah salah satu state di Amerika yang mengalami lonjakan pengangguran hamper mendekati 12% (semenjak GM mengumumkan menutup dealer dealer kendaraan dan pabrik pabriknya). Para penganguran ini terbiasa dengan gaji sebagai IT sebesar $ 70,000 (standard Michigan).
Ditawari pekerjaan sebagai kontraktor dengan gaji sebesar $ 65,000 oleh Kelly Services untuk Seattle, apakah mereka menolak ? tentu saja tidak, 65,000 lebih baik dibandingkan unemployment yang besarnya hanya $ 400/minggu, walaupun mereka tahu standard Seattle lebih tinggi dan mereka tahu bahwa status mereka hanya pegawai kontrak.
Akibatnya, mereka rela pindah dari Michigan ke Seattle dengan meninggalkan rumahnya yang sudah kadung kena foreclosure dan mengontrak apartemen kecil di Seattle, demi untuk menyambung hidupnya. Hal ini juga terjadi di Kansas, banyak pegawai pegawai kontrak baru yang berasal dari California dan New York. Mereka bergaji hamper ½ kali lebih rendah dari yang mereka biasa terima, karena mereka sudah putus asa.



Lalu bagaimana dengan politik di tempat kerja sendiri, karyawan karyawan lama biasanya bersikap tidak bersahabat dengan karyawan baru. Mereka menggunakan politik “watch list”, dimana para karyawan baru selalu diawasi gerak gerik dan tindak tanduknya.
Hal hal kecil yang dilakukan oleh karyawan baru, akan diamati, diperbincangkan oleh karaywan lama, bahkan kalau perlu dilaporkan ke manager atau supervisornya, demi menggagalkan masa percobaan si karyawan baru.
Dengan karyawan lama sendiri pun mereka juga bermain politik, sebagai contoh: Missy, karyawan bagian accounting, gemar sekali menggadukan hal hal kecil yang dilakukan oleh Yan, karyawan bagian purchasing, dari mulai Yan yang mendengarkan ipod ketika bekerja, Yan yang suka menggunakan telepon dengan suara yang keras, sampai Yan yang datang terlambat 5 menit dari jam 8.
Di kantor lain, seorang pegawai yang kebetulan membeli mobil baru, langsung mendapat omongan, karena sudah diumumkan bahwa pada tahun ini, bonus tidak diberikan, karena perusahaan tidak mendapat banyak keuntungan, karena karyawan itu membeli baru, maka issue di kantor adalah pembagian bonus yang tidak merata.
Pusing kan ?.
Bagaimana cara menghadapi politik di kantor ? politik di kantor beda dengan politik di KoKi apalagi di pemerintahan, karena politik di kantor akan menyangkut kredibilitas, promosi, dan masa kerja seorang karyawan. Menurut pengalaman pribadi saya taktik jitu dalam menghadapinya ada 3 S yaitu: Silence, Stay Focus, dan Surrender.
Silence artinya: diam, tidak memberikan reaksi atau aksi. Pelajari diam diam politik apa yang dijalankan si A kepada si B, lalu rumours apa yang menimpa kita, lalu cepat cepat merubah sikap. Jangan kofrontasi, tapi siapkan jawaban jawaban kepada atasan kita jika dia sampai memanggil kita untuk mendiskusikan rumours tersebut. Jika ada karyawan/karyawati yang memanggil anda untuk membicarakan sesuatu, simple, katakana anda sibuk. Titik.
Stay focus. Konsentrasi penuh kepada pekerjaan. Jangan terpengaruh akan gossip, dan jangan ambil pusing apa isi gossip atau politik tersebut.
Dan yang ketiga adalah surrender alias mengalah. Kalahkan ego anda, jika ada karyawan/ karyawati lain yang berusaha mengkonfrontasikan kepada anda, mengalah saja.






SUMBER : http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/2/222/budaya_amerika_vs_budaya_indonesia_-_politik_di_kantor__

0 komentar:

Posting Komentar